Ksatria Terpilihku - I

Dengan Kaki yang membengkak karena terlalu banyak bergerak seminggu pasca melahirkan, Aku dan suamkui menyusuri lorong Rumah Sakit Harapan Kita, dari Ruang NICU (Newborn Intensive Care Unit) menuju ruang ultrasonography (USG). Sepanjang jalan dari lantai 3 sampai ke ruang ultrasonography, serasa hatiku ditusuk-tusuk sembilu setiap berpapasan dengan beberapa pasang mata yang menyisakan tanya, atau menunjukkan iba...terhadap bayi mungil di dalam incubator yang didorong suster  yang menemani kami. Pertama kali aku menemani bayiku melakukan USG keduanya untuk melihat perkembangan perdarahan di otak yang dialami  Ksatriaku, dek Paksi.


Anak ketiga kami, yang dilahirkan secara cesar sehari setelah kami memotong kue ulang tahun ke 4, anak pertama kami. “Jangan hari sabtu deh dok, masa sih berbarengan ulang tahunnya dengan Kakaknya, bedain sehari ya dok, minggu deh” masih terngiang di telingaku, penawaran yang ku ajukan,  saat Dokter Ismail Yahya menyarankan segera dilakukan operasi karena ketuban sudah mulai berkurang, padahal aku sudah minta ada perpanjangan 1 minggu setelah jadwal hari perkiraan lahir yang sudah disepakati dengan Dokter Ismail Yahya sebelumnya.



Meski sudah yang ketiga kalinya masuk ke ruang operasi untuk melahirkan, tidak pernah terasa sama atau lebih tenang dari sebelumnya. Aku tetap tidak berhenti berzikir, mengisi pikiran dengan hal-hal positif. Sempat diselingi canda-canda dengan sang Dokter, “tenang bu, masih bisa empat kali kok, nambah satu lagi yaa” , maksudnya empat kali melahirkan dengan cesar. Dalam kondisi kedinginan dan mengigil seperti ini, penawaran yang sangat tidak menarik buatku.


Rasa lega tak terkira, saat terdengar suara tangisan, “ Alhamdulillah, SubhanaAllah. “laki-laki bu, lengkap ya bu” kata suster, diletakkan sebentar di dadaku, “berat 3,1 kg ya bu…” ”SubhanaAllah anak pintar…” rasa haru tak terkira. Hanya sekitar 15 menit, sekitar pukul 15.15 WIB Ksatriaku ku cium penuh cinta. “Maaf sebentar saja ya bu, anaknya kedinginan, kita pindahkan ke incubator yaa”.  Jujur aku agak kecewa Aku benar-benar ingin melakukan inisiasi menyusui dini dan aku  percaya dia kan merasakan kehangatan dari suhu tubuh Ibunya, dia tidak akan kedinginan. “Ini bukan yang pertama suster”. Tidak ada keluar dari mulut, hanya sampai di tenggorokan. Aku memilih menahan diri dan tak berburuk sangka.  “tapi saya mau ASI exclusive ya suster, nanti langsung diantar ke ruangan saya kalau saya sudah pulih ya, saya mau ajari menyusu.”


Semua berjalan normal, de Paksi sudah belajar menyusui dan dia agresif sekali, walaupun sebentar-sebentar berhenti . Aku ditemani Ibuku yang memang sudah hampir dua minggu datang dari kampung untuk menemani kelahiran cucunya yang ke 19. “Pinter banget ini menyusunya” Midenya menyemangati, “tapi kok kayak ngantuk gitu ya tiba-tiba berhenti dan pucat”,  “ah masa sih Mi? emang anaknya putih kali, dia masih ngantuk kayaknya, engga apa-apa, disemangati terus, sampai dia hafal Mi, Tadi gak sempet IMD” jawabku. Sampai 12 jam kemudian, tiba-tiba Dek Paksi menangis, menyembur cairan merah dari mulut dan hidungnya. Mungkin sedikit untuk ukuran orang dewasa, tapi untuk bayi seusia 12 jam? Aku tahu sesuatu yang serius terjadi pada bayiku.


“Kemungkinan tertelan darah saat proses persalinan ya bu”, begitu diagnosa dokter anak yang menanganinya. Aku masih memegang kata-kata dokter ini saat akhirnya de paksi harus diisolasi, dipisahkan dari Ibunya. Karena setelah muntah darah, kemudian ada darah saat buang air besar. Ibuku yang membersihkan cucunya, mencoba menghiburku, “Sudah disusui saja yang banyak, tidak apa-apa kok”, Tapi kekhawatiranku berkata lain, aku memutuskan untuk memanggil suster jaga. Akhirnya dek Paksi dipindahkan ke ruang khusus untuk dipantau secara intensive. Detik demi detik menjadi begitu menyiksa, rasa nyeri pasca melahirkan tak seberapa menyiksa dibandingkan rasa sakit karena dipisahkan dari anak yang kubawa kemanapun selama 9 bulan lebih, justru pada saat aku ingin terus memeluk dan menciumnya.


Dengan tak sabar, aku terus menerus menanyakan kabar dek Paksi dari suamiku. Ping, Ping, Ping... “belum bisa diketahui penyebabnya sayang” begitu bunyi mesanggernya. “Harus ditransfusi, butuh darah golongan B”. “Sedang diusahakan ke PMI”. “Sudah 6 jam ayah, darahnya belum sampai??”. “Nanti gimana dek Paksi??”. “Sabar, sudah di jalan”. Tapi aku tidak sabar, berita ini sudah sampai ke ponsel adikku dan Dia sudah membagi informasinya ke social media.  Bukan tidak mau berterimakasih, tapi aku merasa sungkan karena banyak yang menanyakan apa yang terjadi, bahkan seorang  teman lama yang sudah puluhan tahun tak pernah bertemu, datang dengan serombongan teman-teman dan tetangganya yang bergolongan darah B.  “terimakasih banyak, tapi rumah sakit ini tidak menyediakan alat untuk transfusi darah, jadi kalau di PMI tidak ada stock darah B, harus ke PMI untuk proses mendonorkan darah. Kebetulan darahnya sudah ada, tapi masih di perjalanan, mungkin macet.” “Maaf infonya belum ter-update…”


Bersambung  ke sini yaa

1 comment

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.