Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin

"Cerbon kuh dudu Sunda dudu Jawa, Cerbon ya Cerbon!" “Cirebon itu bukan sunda, bukan Jawa, Cirebon ya Cirebon”. Sengaja saya mengutip kalimat ini untuk menegaskan bahwa Cirebon baik budaya maupun bahasanya merupakan suatu jenis yang khas, tersendiri, unik dan berbeda dengan Sunda maupun Jawa. 

Bahasa Cirebon sebagai sebuah bahasa, dituturkan secara luas baik dalam keseharian maupun aktifitas formal di wilayah Pantai Utara Jawa Barat sampai daerah Losari di Brebes Jawa Tengah. Bahasa Cirebon merupakan sebuah warisan budaya yang telah diakui dan dijaga keberadaannya secara hukum melalui Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 di mana Pemerintahan Provinsi Jawa Barat mengakui keberadaan tiga suku asli Jawa Barat yaitu Betawi, Sunda dan Cirebonan serta mengakomodasi dan melestarikan eksistensi dari ketiga suku tersebut, termasuk pengajaran budaya dan bahasanya. Keren kaan?? 

Salah satu kekhasan Bahasa Cirebon yang sarat akan muatan budaya dan sejarah adalah dikenalnya petatah-petitih (petuah, pepatah, nasihat ) yang bersumber dari seorang sosok yang sangat historical yakni Syarif Hidayatullah dikenal sebagai Sunan Gunung Djati. Beliau satu di antara Sembilan orang Waliullah di Nusantara. 

Petatah-petitih yang dikenal sebagai gugon tuwon (berasal dari kata gugu artinya ditaati dan diikuti dan kata tuwa artinya orang tua). Gugon Tuwon merupakan kalimat yang mengandung nasehat, mengajarkan tentang hidup, dan perilaku yang semestinya dijalani manusia. Keberadaannya mampu menjadi bahasa yang komunikatif dalam syiar Islam yang ternyata tidak hanya cocok pada masanya namun masih sangat kontekstual dengan kondisi kekinian. Itulah mengapa petatah petitih ini menjadi bagian dari keseharian filosofi dan cara pandang masyarakat Cirebon. 
Aksara Cirebon atau Cacarakan Cerbon, sumber  

Salah satu yang paling terkenal adalah “Ingsun titip tajug lan fakir-miskin” yang artinya “saya titip masjid dan fakir miskin.”

Pepatah ini mengandung nilai untuk memakmurkan masjid dan para fakir miskin. Cirebon, di setiap sudutnya bisa kita temukan masjid, mushalla, langgar, atau dalam bahasa Cerbon disebut Tajug. Tajugpun tidak sekedar menjadi tempat sholat dan kegiatan Ibadah ritual saja. Berbagai kegiatan Ibadah sosial berawal dari diskusi di Tajud. 

Dalam konteks kekinian Tajug kemudian dimaknai secara lebih luas menjadi lembaga pendidikan. Cirebon dikenal sebagai kota dengan jumlah lembaga pendidikan agama atau pesantren yang sangat banyak, terutama pesantren salaf. Sedangkan konteks fakir miskin tidak lagi hanya dipandang dari sisi materi, tetapi secara lebih luas dimaknai sebagai kekurangan/miskin ilmu, pengetahuan dan sejenisnya. Petatah petitih ini berakar dari kearifan lokal masyarakat Cirebon dan sejatinya selalu menumbuhkan kepedulian terhadap dunia pendidikan
Sejalan dengan pepatah tersebut, kiranya 50 tahunan lalu. Almarhum Bapak saya dan beberapa rekan seperjuangannya yang sebagian besar juga sudah almarhum, menginisiasi pendidikan agama bagi warga masyarakat secara swadaya.

Kegiatan bermula dari masjid, awalnya dari sebuah masjid tua yang saat ini masih difungsikan sebagai tempat Ibadah sekaligus dilestarikan sebagai”cagar budaya”. Kemudian dibangun masjid yang lebih besar di lokasi lain. Masjid yang diberi nama Al- Ma’had (pondok) ini merupakan tempat ibadah dan pendidikan. Tidak hanya orang tua, anak-anak dan remaja memiliki jam belajar mengaji di Masjid ini. Dengan bantuan para donatur yang sebagian besar warga kampung saya, kemudian dibangun madrasah (sekolah agama). Beberapa tahun kemudian dibangun MI (Madrasah Ibtidaiyah) setingkat SD, SMA, dan Asrama Pemondokan bagi santri-santri yang berasal dari luar kota. Untuk pendidikan formal dikenakan biaya pendidikan namun masih “jauh sangat ramah”, untuk pemondokan hanya dikenai uang listrik yang dikelola sendiri oleh para santri

Untuk sekolah di madrasah dan mengaji di masjid, free. Tidak dikenai biaya. Bagi orang kampung saat itu, untuk makanpun sulit apalagi untuk membayar biaya pendidikan. Tidak lain kegiatan belajar agama di madrasah dan masjid diselenggarakan untuk memperbesar jangkauan pendidikan. 

Sekitar tahun 1980-an, kegiatan pendidikan ini kemudian dilegalkan dalam sebuah lembaga pendidikan dengan mendirikan badan hukum Yayasan. Para generasi penerus berikutnyalah yang kemudian memikirkan pentingnya status lembaga ini. Yayasan ini diberi nama Yayasan Islam Tarbiyatul Banin, sesuai namanya memang difokuskan untuk menjadi lembaga pendidikan bagi anak-anak. Yayasan pendidikan ini berkembang dan sekaligus mengalami pasang surut layaknya yayasan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Mengingat tidak ada sumber dana tetap dalam menggerakkan roda pendidikan yang berbasis dari, oleh dan untuk masyarakat ini.

Dahulu, asrama pemondokan hanya ada dua gedung. Asrama putri dan putra. Pun keduanya adalah wakaf dari warga. Sebagian santri bahkan mondok (secara gratis) di rumah-rumah penduduk, namun mengikuti kegiatan belajar dan pengajian di pondok sesuai jadwal. Biasanya mereka hanya membayar makan dan listrik pada pemilik rumah. Untuk mereka yang menempati pondok, hanya dikenai biaya listrik sesuai kebutuhan mereka. Untuk makan, diserahkan kepada masing-masing anak. Ada yang memasak (disediakan dapur), ada pula yang membeli makanan di sekitar asrama pemondokan.

Yang unik dari kegiatan belajar di pondok pesantren ini adalah, kegiatannya tidak hanya diikuti oleh para santri yang tinggal di asrama (perantau), tetapi oleh para “santri kalong”, anak-anak dari warga masyarakat setempat yang mengikuti kegiatan di pondok. Dalam satu periode, jumlah santri kalong bahkan bisa jauh lebih banyak dari santri pondok. Mereka mebaur, sehingga tidak ada eksklusifitas, dengan masyarakat setempat sekalipun.

Peserta pengajian pun terdiri dari berbagai usia dan dikelompokkan secara leveling sesuai materi dengan jadwal yang tersusun rapih. Mulai dari kanak-kanak sampai usia menengah atas. Untuk kelompok dewasa ada jadwal pengajian tersendiri, ada kelompok ibu-ibu, dan bapak-bapak, bahkan ada pengajian pasutri “supaya adil, suami dan isteri punya pengetahuan dan ilmu yang sama jadi nyambung...sekarang isteri ngaji sendiri, bapak ngaji sendiri, pas ketemu di rumah masing-masing hanya ingat haknya, jadi tak imbang.”

Alhamdulillah sekarang yayasan sudah memiliki beberapa donatur tetap dan dikelola jauh lebih profesional, selain bangunan fisik yang semakin baik, termasuk adanya subsidi BOS dari pemerintah. Kegiatan belajar mengajar sudah menerapkan sistem yang lebih terukur. Ada target-target yang harus dipenuhi baik oleh siswa maupun guru. Namun satu hal yang tidak ditinggalkan oleh para pengurus dan “relawan” yayasan ini bahwa pendidikan untuk semua.

Untuk pendidikan dasar tidak dipungut biaya, sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk santri yang mondok ada sistem subsidi silang, bagi anak-anak dari kalangan kurang mampu terutama yatim dan piatu tidak dikenai biaya apapun. Untuk sekolah formal sekarang sudah lengkap, ada MI, SMPIT, dan SMA dilengkapi dengan kegiatan pengajian di pondok yang difokuskan pada Tarjamah Qurán.

Demikianlah salah satu contoh kasus bagaimana pemaknaan petatah petitih, “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin” oleh sebagian kecil masyarakat Cirebon di kampung saya, Blok Dukumalang Desa Dukupuntang, Cirebon.

“Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati”


Total kata: 996

Sumber pendukung:

· http://basacirebon.blogspot.com/
· http://supalikasim.blogspot.com/2011/07/nilai-nilai-budaya-pada-petatah-petitih.html
· http://id.wiktionary.org/wiki/Wiktionary:Kamus_Bahasa_Cirebon



13 comments

  1. Tajug di kotaku biasanya untuk menyebut rumah mba,,hmpir sama dg cirebon,,di kudus jg banyak pesantren,,cirebon memang unik,,ini juga pepatah yg sangat dalam ya mba,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. ooh bahasa kudus tajug artinya rumah ya mak...baru tahu juga niih...iya karakter kudus n cirebon agak mirip mak..sama2 daerah pantura, dengans ejarah islam yang cukup kuat

      Delete
  2. Orangtua manapun kudu memegang teguh slogan ini ya mak. Tengkiuuuu, untuk sharing slogan manfaat banget nih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mak...smoga bisa menjadi bagian dr prinsip hidup kita ya mak

      Delete
  3. benar benar bagus, ga bisa komen apa2 lagi

    ReplyDelete
  4. ini berarti bahasa Cirebon ya, Bu?

    ReplyDelete
  5. huruf Jawanya beda banget ya dg yg dipelajari di Jawa Tengah. gugon tuwon yg sarat makna nih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak Unik bedao...ga diakui sm yg jawa tengah (jowo), pu Jawa Barat (sunda)..
      kien asli bahasa cerbon..hehehe

      Delete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.